Bolehkah Ayah Biologis Menikahi Puteri Hasil Zinanya Sendiri?

Posted on:
tags:
Zina adalah perbuatan haram dan mendekatinya saja sudah dilarang dalam agama manapun. Namun bila dari zina itu sampai lahir anak 'haram', maka syariat Islam punya beban untuk mendudukkan statusnya.

Terlepas dari haramnya perbuatan zina itu sendiri, para ulama sepakat bahwa anak haram hasil zina tentu tidak menanggung dosa atas perbuatan orang tuanya. Karena Islam bukan jenis agama yang membebankan kesalahan seseorang kepada orang lain.

Namun dalam urusan nasab, anak hasil zina ini memang sedikit bermasalah. Kalau anak itu dinasabkan kepada ibunya, para ulama sudah sepakat membenarkan. Sehingga hubungan anak itu dengan ibunya adalah hubungan syar'i yang sah sebagai anak sah.

Dan sebagai anak yang sah, khususnya bila anak itu laki-laki, maka hubungan keduanya menjadi mahram muabbad. Konsekwensinya adalah bahwa anak laki-laki itu tidak boleh menikahi ibunya sendiri.

Namun yang masih menjadi perdebatan para ulama adalah masalah hubungan nasab anak itu dengan ayah biologisnya. Apakah anak itu bisa menjadi anak sah secara hukum syariah terhadap ayah biologisnya? Misalnya dengan adanya pernikahan antara ayah biologisnya itu dengan ibunya?
Dalam hal ini pendapat para ulama terpecah. Ada yang mengatakan bahwa hubungan nasab bisa tersambung kembali bila keduanya menikah. Namun ada juga yang berpendapat sebaliknya.
Perbedaan pendapat ini kemudian menimbulkan konsekuensi hukum turunan. Kalau dikatakan bahwa antara anak hasil zina dengan ayah biologisnya tidak terjadi hubungan nasab, maka konsekuensinya bila anaknya itu seorang wanita, maka keduanya bukan mahram. Dan kalau hubungan mereka bukan sebagai mahram, berarti boleh terjadi pernikahan antara ayah biologis dan puterinya sendiri.
Disinilah kemudian timbul silang pendapat. Bolehkan puteri yang lahir dari hasil zina di kemudian hari setelah dewasa lantas dinikahi sendiri oleh ayah biologisnya?
Kalau kita pakai pendapat yang mengatakan bahwa anak zina bisa tersambung kembali nasabnya kepada ayah biologisnya, maka keduanya menjadi marham dengan hubungan ayah dan puterinya. Sebaliknya kalau kita pakai pendapat yang menolak tersambungnya nasab mereka, maka keduanya bukan ayah dan anak. Kalau bukan ayah dan anak, maka mereka bukan mahram. Kalau hubungan keduanya bukan mahram, apakah boleh si ayah biologis ini menikahi puterinya sendiri?
Ternyata di masa lalu pertanyaan macam ini telah secara panjang didisukusikan oleh para ulama. Berikut kesimpulan-kesimpulannya dari berbagai mazhab yang saling berbeda pendapat.
1. Pendapat Pertama
Mayoritas ulama Fiqih dari madzhab Hanafi, Maliki, Hambali dan salah satu qaul dari madzhab Syafi’i menyatakan bahwa seorang lelaki tidak boleh menikahi anak perempuannya dari hasil zina, sebagaimana ia tidak boleh menikahi anak-anak perempuannya dari hasil pernikahan yang sah.
Sebab walaupun ia dengan anaknya dari hasil zina tidak ada hubungan nasab secara syar’i, namun ada hubungan juz’iyyah diantara keduanya. Artinya, anak hasil zinanya itu masih menjadi bagian dari dirinya. [1]
Madzhab Hanafi mendasarkan pendapatnya pada firman Allah SWT :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
Diharamkan bagimu (menikahi) ibu-ibumu dan anak-anak perempuanmu”.
Madzhab ini memandang sama, antara anak-anak perempuannya dari hasil pernikahan yang sah maupun dari hasil zina. Sebab dalil tersebut bersifat ‘aam (umum).
Sebagaimana yang disampaikan oleh Al-Kasani, salah satu mujtahid madzhab ini:
Sebab istilah ‘bint al-insan’ adalah anak berjenis kelamin perempuan yang tercipta dari air maninya seorang lelaki. Maka pada hakikatnya, anak perempuan itu merupakan anaknya”. [2]
Madzhab Maliki juga menyatakan bahwa apabila seorang lelaki berzina dengan seorang wanita, kemudian si wanita itu hamil dan melahirkan anak perempuan, maka anak perempuan itu haram dinikahi oleh ayah biologisnya, begitu juga dengan kakek biologisnya. [3]
Madzhab Hambali dengan pendapat serupa merujuk pada QS. An-Nisa : 23 dan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang berisi tentang isteri dari Hilal Bin Umayyah yang diduga melahirkan anak dari hasil hubungan zinanya dengan lelaki bernama Syarik Bin Sahma’.
Saat ini Rasulullah SAW berkata :

أَبْصِرُوهَا فَإِنْ جَاءَتْ بِهِ - يَعْنِي وَلَدَهَا - عَلَى صِفَةِ كَذَا فَهُوَ لِشَرِيكِ بْنِ سَحْمَاءَ
“Perhatikanlah anak perempuan itu. Jika ia lahir dengan sifat yang menyerupai dia (lelaki yang menzinai ibunya) dengan ciri-ciri begini dan begitu, maka anak itu dari Syarik Bin Sahma”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
2. Pendapat Kedua
Pendapat mayoritas mujtahid dalam madzhab Syafi’i memandang bahwa tidak ada hubungan kemahraman antara anak perempuan hasil zina dengan lelaki yang menjadi ayah biologisnya, walaupun lelaki itu tau bahwa anak itu adalah anak yang lahir dari perbuatan zina yang dia lakukan.
Mereka mengatakan bahwa apabila seorang lelaki berzina dengan seorang wanita, baik perbuatan itu dilakukan dengan paksa ataupun dengan suka sama suka, kemudian dari perzinaan itu lahir anak perempuan, maka anak itu halal untuk dinikahi oleh si lelaki yang menjadi ayah biologisnya.
Sebab anak itu tidak menjadi mahram baginya, dan tidak ada hubungan nasab diantara keduanya, serta tidak saling mewarisi ketika salah satu pihak meninggal dunia. Sebagaimana yang disebutkan oleh ar-Rafi’i, salah satu mujtahid dalam madzhab As-Syafi’i. [4]
Walaupun demikian, sebagian ulama madzhab ini berpendapat sebaliknya. Yakni bahwa anak perempuan yang lahir dari hasil zina haram dinikahi oleh lelaki yang diduga sebagai ayah biologisnya. Sebab ada kemungkinan bahwa anak itu benar-benar berasal dari air maninya.
Dan jika lelaki tersebut yakin bahwa anak perempuan tersebut benar-benar merupakan darah dagingnya sendiri, maka jelas haram bagi lelaki itu untuk menikahinya. Pendapat ini didukung oleh beberapa ulama dari madzha Syafi’i, antara lain ar-Ruyani. [5]
Demikian pendapat dari para ulama fiqih mengenai hukum boleh atau tidaknya bagi seorng lelaki untuk menikahi anak perempuan dari perbuatan zina yang dilakukannya.
Mayoritas ulama mengatakan bahwa hukumnya haram, sebagaimana keumuman dalil yang terdapat dalam QS. An-Nisa : 23. Begitu juga dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas mengenai seorang wanita yang berzina kemudian melahirkan dengan ciri-ciri lelaki yang menzinainya.
Selain itu, pendapat ini dikuatkan dengan fakta bahwa antara mereka terdapat hubungan juz’iyyah. Yang artinya, anak perempuan itu adalah bagian dari ayah biologisnya.
Akan tetapi, sebagian ulama dari madzhab Syafi’i mengatakan bahwa diantara keduanya tidak ada hubungan nasab dan kemahraman yang menghalangi bolehnya menikahi anak perempuannya dari hasil zina.
Walau demikian, ulama dalam madzhab Syafi’i sendiri terjadi perbedaan, antara yang membolehkan dan yang mengharamkan.
Wallahu a’lam bisshawab.

[1] Hasyiyah Ibni Abdin jilid 2 hal. 277
[2] Bada’i as-Shana’i lil-Kasani jilid 2 hal. 257
[3] As-Syarhu al-Kabir jilid 2 hal. 250
[4] Hasyiyah Qolyubi wa ‘Umairah jilid 3 hal. 241
[5] Mughni Muhtaj jilid 3 hal. 175 & 178
Comments
0 Comments

No comments :

Post a Comment

Beriman dan Beradab Sebelum Berucap dan Berbuat