Jika Dhaif Suatu Hadits Tentang Sujud

Posted on:
tags:

Jika disuruh memilih antara sehat dan sakit, pasti sehatlah yang dipilih. Jika diminta memilih antara baik dan buruk, pasti memilih yang baik. Itulah fithrah manusia.
Begitu juga jika disuruh memilih antara hadits shahih dan hadits dhaif, pasti yang dipilih adalah hadits shahih. Hampir semua umat islam ingin menjalankan agamanya dengan benar, didasari dari dalil yang kuat dari al-Qur’an dan Hadits yang shahih.
Hadits yang shahih memang menjadi salah satu modal dalam penetapan suatu hukum Islam. Para ulama ahli hadits telah berusaha menjaga agama ini agar agama Islam tetap orisinal, yaitu dengan memilih mana hadits yang memang berasal dari Nabi, dan membuang hadits yang disinyalir maudhu’/ palsu bukan dari Rasul.
Lantas Bagaimana dengan Hadits Dhaif?
Hadits maudhu’ itu palsu, sedangkan hadits dhaif itu lemah. Palsu itu karena berbohong, sedangkan lemah belum tentu karena bohong. Makanya, hadits dhaif tidaklah satu tingkatan. Ada hadits yang lemahnya ringan, ada pula yang berat.

Latah Hadits Dhaif

Semangat memurnikan ajaran islam tentu sangatlah baik, terlebih ketika umat islam sudah begitu jauh dari zaman kenabian. Tetapi kadang semangat itu tidak dibarengi dengan keilmuan yang mumpuni. Semagat pemurnian itu ibarat anti virus komputer. Anti virus yang baik adalah anti virus yang bisa membedakan mana itu virus beneran dan membahayakan komputer, mana yang sepertinya virus padahal bukan.
Sekarang ini, hadits dhaif sepertinya tidak hanya menjadi konsumsi mujtahid saja. Banyak kita dengar perkataan disekeliling kita, “Bukankah itu haditsnya dhaif?”.
Kita sebenarnya cukup gembira, karena umat islam sudah tidak lagi hanya taklid, tetapi sudah ada usaha untuk menjadi muttabi’ [meminjam istilah kalangan yang membedakan antara muqallid dan muttabi’].
Sayangnya, ada beberapa hal penting yang kurang dipahami terkait hadits dhaif ini. Seolah jika suatu hadits sudah dhaif, maka langsung dibuang saja.

Penilaian Hadits Shahih atau Dhaif Adalah Produk Ijtihad

Penetapan penilaian shahih dan dhaif suatu hadits adalah hasil dari sebuah usaha ijtihadi. Maka, pasal pertama dari suatu usaha ijtihadi adalah ijtihad harus dilakukan oleh mujtahid yang mumpuni. Penilaian terhadap suatu hadits harus dilakukan oleh seorang ahli hadits yang diakui kemampuan ijtihadnya dalam ilmu hadits.
Pasal keduanya, produk ijtihad bisa jadi benar dan mungkin saja salah. Pasal ketiga, karena sifatnya ijtihadi, maka bisa jadi hasil ijtihad seorang mujtahid itu berbeda dengan hasil ijtihad mujtahid yang lain. Makanya, banyak kita temui perbedaan penetapan shahih atau dhaif suatu hadits. Pasal keempat, bagi seorang muqallid, tidak sepantasnya memaksakan hasil ijtihad mujtahid yang ia ikuti kepada muqallid yang lain.
Pada pasal keempat ini, banyak kita jumpai saat-saat ini. Seorang yang sebenarnya masih muqallid, terkesan memaksakan penilaian suatu hadits orang yang mereka ikuti kepada orang lain. Inilah latahnya orang awam terkait hadits dhaif.

Jawaban Pertanyaan Jika Lemah Suatu Hadits

Sebaliknya, banyak ustadz juga yang latah ketika mendapat pertanyaan; “Bukankah itu haditsnya dhaif, ustadz?”.
Ketika mendapatkan pertanyaan seperti itu, biasanya ustadz latah dalam menjawab. Jawaban diplomatis yang biasa dipakai adalah adanya khilaf diantara ulama, dalam hukum berhujjah dengan hadits dhaif, terlebih dalam fadhail a’mal.
Padahal seharusnya itu jawaban terakhir. Ketika ditanya seperti itu, selayaknya ada beberapa pertanyaan yang selayaknya kita ajukan terlebih dahulu. Pertanyaan itu adalah 4W: WHO, WHEN, WHY, WHERE.

WHO: Hadits Dhaif

Suatu ketika saya pernah ditanya, “Saat sujud yang lebih rajih didahulukan tangan dahulu atau lutut dahulu?”
Saya jawab, “Silahkan pilih diantara keduanya. Asal tidak kepalanya dahulu saja”
“Tapi kalo tidak salah, hadits yang menjelaskan lutut dahulu itu haditsnya lemah, ustadz. Jadi yang lebih benar itu tangannya dahulu?”
Ulama memang khilaf terkait mana yang turun dahulu saat sujud, keduanya silahkan dipilih mana yang sekiranya nyaman.
Ada satu hadits yang dianggap lemah oleh beberapa ahli hadits, hadits itu adalah hadits Wa’il bin Hujr:
رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سجد يضع ركبتيه قبل يديه ، وإذا نهض رفع يديه قبل ركبتيه . رواه أبوداود والترمذي والنسائي وابن ماجة والدارقطني
Saya melihat Rasullullah ketika sujud, beliau turun dengan dua lututnya sebelum tangannya, ketika naik beliau mengangkat tangannya dahulu sebelum lututnya. [HR. Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah dan Daraquthni]
Hadits ini dianggap lemah oleh Nashiruddin al-Albani dalam kitab Irwa’ al-Ghalil, hal. 2/75 dan Imam Baihaqi dalam Sunannya, hal. 2/101. Maka mereka berpendapat bahwa yang lebih rajih adalah mendahulukan tangan dahulu. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Auza’i.
Tetapi hadits itu oleh ulama’ lain dinilai tidak lemah. Madzhab Abu Hanifah, Syafi’i, Ahmad dalam salah satu riwayatnya memilih lebih mendahulukan lutut, inilah yang diamalkan oleh kebanyakan ahli ilmu [Abu Isa at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, hal. 2/57]. Pendapat ini dipilih juga oleh Ibnu Qayyim (w. 751 H), Bin Baz, dan Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
Maka, ketika kita mendapat suatu hadits dinilai dhaif, yang menjadi pertanyaan pertamanya adalah siapakah yang menghukumi dhaif hadits itu?
Memang ada beberapa hadits yang oleh ulama disepakati keshahihannya, ada juga hadits yang disepakati kedhaifannya. Tetapi ada juga hadits yang menjadi perbedaan diantara para ulama terkait shahih dan dhaifnya. Jika sekali waktu ada yang bilang, “Itu haditsnya dhaif”, maka bertanyalah: “Siapakah yang mendhaifkannya”. waallahua'lam bisshawab
Untuk pertanyaan 4 W selanjutnya, insyaAllah kita lanjutkan ditulisan berikutnya.

2 comments :

Beriman dan Beradab Sebelum Berucap dan Berbuat